Rabu, 04 Januari 2012

Anton adalah seorang anak Papua yang berasal dari Kabupaten Puncak Jaya. Setelah lulus SMP, kedua orangtuanya meninggal dunia. Sementara itu, saudara-saudaranya sudah berkeluarga dan tinggal secara terpisah-pisah.
Karena lebih banyak pindah dari rumah satu kakak ke kakaknya yang lain, Anton tidak bisa melanjutkan sekolah. Ia malahan diminta kakak-kakaknya untuk membantu bekerja di ladang. Anton merasa senang saja, sebab mereka itu yang menanggung makannya sehari-hari.
Tanpa terasa, waktu berlalu, dan Anton sudah menginjak tahun ketiga selepas lulus SMP. Selama menjalani pekerjaan bersama kakak yang satu ke kakak yang lain itu, tiap-tiap kali selepas bekerja di ladang, ia selalu menyendiri. Ia punya kebiasaab memanjat pohon, dan kemudian melamun di situ.
Entah sudah berapa kali Anton melamun. Tetapi tiba-tiba ia gelisah. Ia merasa bahwa di kala bekerja dengan kakak-kakaknya itu, ia sering terlalu dibebani. Ia berpikir, itulah jadinya kalau ia tidak sekolah. Bahkan sempat terpikir olehnya, “Besok kalau aku punya anak, aku tidak ingin anakku seperti aku.”
Maka kemudian ia mendatangi pastor di gereja di dekat rumahnya, untuk menanyakan kalau-kalau ada sekolah yang mau menerima dia sebagai lulusan SMP tetapi sudah tidak membaca buku selama tiga tahun. Ia bahkan menyatakan mau turun ke pantai kalau di pantai ada SMA yang mau menerimanya sebagai siswa. Ia sudah menabung selama tiga tahun, hasil dari berkebun dan membantu kakak-kakaknya. Menurutnya, uangnya sudah cukup untuk membeli tiket pesawat.
Dan memang betul. Anton dari Puncak Jaya turun ke Nabire dengan pesawat karena ia diterima di SMA Adhi Luhur. Teman-temannya di sekolah mengira ia seorang bapak-bapak karena badannya besar dan janggutnya belum dipangkas. Di Nabire ia tinggal di asrama di samping sekolah.
Ia rajin membabat rumput di kebun. Kadang ia menanam kangkung di sana. Dan ia yang paling bersemangat kalau bapak asrama harus membeli kayu bakar untuk keperluan dapur asrama. Anton memang tukang pikul, demikian teman-temannya menyebut. Tetapi yang pasti unik dari Anton adalah ia selalu membawa kamus bahasa Inggris k mana pun ia pergi, entah ketika sedang di dapur atau di kebun. Ia menaruhnya di dalam noken (tas anggrek khas Papua). Ketika ditanya apakah ia senang belajar bahasa Inggris, ia menjawab, “Itu sudah.”
Staf pengajar di SMA tempat Anton belajar itu sebenarnya belum begitu menerima Anton. Sebab, di samping itu dulu tidak lulus seleksi masuk, ia juga selalu menjadi siswa yang paling menyusahkan gurunya di kelas karena ia tidak segera paham pelajaran. Kebanyakan staf menilai bahwa penerimaan Anton itu akan mendapat teguran dari Diknas setempat. Tetapi karena ketegaran seorang staf pengajar yang menjamin bahwa pilihan mereka itu tidak salah, maka Anton tetap bisa belajar di SMA itu.
Ketika kelas tiga, Anton menempuh ujian. Dan ternyata ia tidak lulus. Ia tidak mau mengulang ujian, tetapi mau mengulang kelas tiga. Setahun kemudian ia menempuh ujian lagi, dan kembali tidak lulus. Guru-gurunya bahkan ada yang sudah menganjurkan agar ia mundur dari sekolah atau pindak ke sekolah lain. Tetapi anton tidak mau. Ia menempuh kelas tiga yang ketiga kali, dan akhirnya ia lulus dengan selisih nilai yang tipis dari batas kelulusan
Bapak asramanya heran, oleh sebab apa Anton punya ketegaran seperti itu, dan tidak malu di depan teman-temannya. Ketika Anton ditanya hal ini, jawabannya pendek, “Supaya anak saya tidak seperti saya.”
Staf SMA pada akhirnya merasa harus berterima kasih pada Anton. Mengapa? Sebab, kehadiran Anton telah mampu mengubah suasana di sekolah. Awalnya guru-guru hanya berorientasi pada angka-angka sebagai nilai akademik. Tetapi karena Anton, guru-guru kemudian lebih melihat pada sisi perkembangan diri anak didiknya. Dan lagi, ketika Diknas menerbitkan rapot baru yang berisi tinjauan mengenai perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, para staf di sekolah itu sudah punya pengalaman, yang mendahului yang lainnya, karena kehadiran Anton. Indahnya lagi, itu semua terjadi bukan karena instruksi atasan, tetapi karena melihat situasi di lapangan.
Ton, sekalipun engkau senang belajar bahasa Inggris, tetapi pasti engkau belum pernah belajar bahasa Latin. Tetapi, dirimu telah mempraktikkan secara sempurna apa artinya pepatah Latin : “Non scholae, sed vitae discimus”. Kita belajar bukan demi nilai rapot, tetapi demi hidup.
Pengolahan :
1.      Dari mana daya yang menggerakkan Anton berasal hingga ia tidak kenal lelah untuk mewujudkan cita-citanya?
2.      Kehadiran Anton membangun suasana baru di sekolah dan asramanya. Konteks hidup komunitas menjadi tumbuh dinamik dan mengembangkan orang-orang di dalamnya. Bagaimanakah semestinya kita memandang keberadaan konteks hidup kita?
3.      Adakah pengalamanmu yang mirip-mirip pengalaman Anton, dan ingin kamu certakan? Coba saja kau ceritakan dengan santai! Hal-hal berharga mana saja yang ingin kau bagikan?